Oleh : ABDUL FATAH NAHAN
Beberapa orang menyelam dan menarik jangkar kedaratan. Tidak tanggung- tanggung lagi, Nyai Undang turun bertempur. Ia langsung mencari raja Sawang saking marahnya, mengingat kematian ibunya disebabkan ulah orang-orang dari laut ini. Didampingi Sangalang, calon suaminya yang hanya mengawalnya jika ada yang ingin membokong , Nyai Undang berhadapan langsung dengan raja Sawang.
Pemimpin negeri Kuta Bataguh ini yang rambutnya terurai hingga ke punggung telah bersumpah untuk berkeramas dengan darah musuh utamanya yang dianggapnya tidak berada t itu. Ia mengamuk dengan ganasnya, hingga suatu saat duhungnya menembus badan raja Sawang.
Seluruh pasukan itu dihancurkan , bagi yang menyerah dijadi-kan jipe n (budak). Perang itu berlangsung hanya dalam waktu sehari saja, menjelang senja semua sudah berakhir dengan pihak Kuta Bataguh Cuma berpuluh-puluh orang yang mendapat luka ringan.
Terhadap para pemimpin pasukan penyerang yang dengan tulus hati menyerah dan bersumpah setia menjadi warga Kuta Bataguh, dilaksanakan pembauran berupa perkawinannya dengan penduduk Kuta Bataguh dan d iberi gelar secara adat Dayak. Mereka menyadari sebab musabab permasalahan, mereka itu adalah tamanggung Pandung yang merupakan nenek moyang suku Dayak Bakumpai, tamanggung Rangas yang menjadi nenek moyang orang-orang Berangas dan tamanggung Imat yang menjadi nenek moyang orang-orang Alalak.
Setelah pertempuran usai serta mayat dari kedua belah pihak dikuburkan baik-baik, dilaksanakan upacara mamapas petak danum (mendinginkan negeri) dan menyaki kawan pangkialima (meneguhkan hati para pahlawan dengan mengoleskan darah hewan korban sebab mereka telah banyak membunuh secara adat Dayak.
Mamalas petak danum dimaksudkan agar bumi kembali sejuk dan tetumbuhan di kebun serta ladang memberikan hasil yang baik seperti biasa, sebab telah tersiram darah yang panas akibat peperangan. Sedangkan menyaki kawan pangkalima serta seluruh pasukan bertujuan untuk meminta ampun kepada Ranying Hatalla (Tuhan bagi penganut agama Kaharingan) terhadap perbuatan membunuh manusia dalam pertempuran itu.
Setelah semua itu selesai dilaksanakan Rambang berkata: “ Menurut pendapatku selagi para pangkalima masih ada disini lebih baik kita langsung-kan saja perkawinan saudara kita Sangalang dan Nyai Undang ini. Hal ini perlu agar tidak ada lagi lamaran sdekaligus penyerangan terhadap Kuta Bataguh”.
Pendapat Rambang itu disetuju i dan perkawinan pun dilangsungkanlah. Selain itu dikawinkan pula Tambun dengan Bulan serta Bungai dengan Karing dan banyak pula yang lainnya bersama-sama sesudah semuanya itu selesai, Rambang, Ringkai serta anak buahnya kembali k e Tumbang Pajangei, Tambun menetap bersama isterinya di desa Tangkahen dan Bungai di tempat mertuanya di desa Tewang Pajangan.
Para pahlawan suku Dayak lainnya pulang kembali ke desanya masing-masing Tamanggung Sangalang dan isterinya Nyai Undang memimpin negerinya Kuta Bataguh itu dengan masih menaruh perasaan cemas terhadap serangan lagi.
Bukannya masalah tidak berani menghadapinya melainkan karena merasa segan sebab melibatkan dan merepotkan sanak keluarga lainnya dari pada menyusahkan orang lain mereka lalu menggaibkan diri. Penduduk biasa warga Kuta Bataguh lalu cerai berai pula pindah ke berbagai negeri mencari ketenteraman.
Kuta Bataguh ditinggalkan dan hancur dengan sendirinya lapuk dimakan masa. Letaknya kini diperkirakan di desa Pulau Kupang Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas, antara Handel Alai dan handel Bataguh, yang merupakan areal persawahan penduduk.
Sebagian orang memperkirakan bahwa Kuta Bataguh yang terletak pada daerah aliran Sungai Berito dan sungai kapuas serta dekat sungai Kahayan dengan banyak anjir (terusan, kanal) serta ramainya pelayaran, menjadi lemah sebab tidak mempunyai armada laut yang kuat.
Selain itu gangguan keamanan yang melumpuhkan sendi perekonomian berupa serangan bajak laut; serta mulai berdatangannya bangsa-bangsa Eropah dengan persenjataan lengkap yang berniaga sekaligus mencari tanah jajahan seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggeris. Tak kurang pula sebab runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berlaku sebagai pelindung selama ini, serta belum terjalinnya suatu hubungan yang akrab dengan kerajaan Banjar sebagai tetangga yang berbeda dalam kepercayaan dan tidak ada lagi figur yang berwibawa besar seperti Maharaja Patih Simbar Laut.
Kuta Bataguh bagi yang mempercayai merupakan tempat berhajat, karena itu pada tahun 1953 telah di dirikan di tempat itu tujuh buah tiang bendera sebagai peringatan bagi mereka yang mengabaikan diri serta dua buah pasah parapah (pondok kecil tak berdinding untuk menaruh benda yang dikeramatkan) tempat berhajat.
Ketika pada bulan Desember 1986 ada yang menemukan benda berharga berupa potongan-potongan emas, maka pengagalian liarpun ramailah. Mula-mula hanya dilakukan masyarakat sekitar lokasi, namun tak dapat ditutupi. Akhirnya meluas melibatkan jumlah ribuan orang yang bekerja siang malam, datang dari luar propinsi terutama Kalimatan Selatan.
Benda temuan berupa perhiasan-perhiasan dari emas berkadar antara 16 karat sampai 23 karat, berbagai macam senjata, manik-manik, batu permata fragmen gerabah dan sisa tiang kuta ataupun bangunan dari kayu ulin.
Karena tidak mempunyai manuskrip yang otetik maka sejarah Kuta Bataguh cukup sulit untuk diungkapkan, cerita yang ada hanya bersumber dari mukut ke mulut serta melalui konfirmasi kebatinan yang sulit untuk dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
************
S E K I A N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar