Oleh : ABDUL FATAH NAHAN
Di antara mereka itu terdapat saudaranya seayah anak Tamanggung Sempung yakni Bungai, serta sepupunya Rambang, Ringkai, dan Tambun dari Tumbang Pajangel, Nyaring, Ramping
Kandeng dari sungai Miri, isoh dari Batu Nyiwuh , Etak dari
Tewah; Hanjungan dari Sare Rangan; Atang dari Penda Pilang;
Sekaranukan dari Tumbang Manyangen; Renda, Rangka dan Kiting dari
Tanjung Riu; Lapas dari Tumbang Miwan; Rumbun dan Hariwung dari
Tumbang Danau; Dahiang dari Sepang Simin; Tombong dari Tangkahen;
Uhen dari Manen Panduran; Kaliti dari Bukit Rawi; Rakau dari
Tumbang Rungan; Kandang dari Gohong dan Andin dari Pangkoh.
Menurut cerita jumlah semua mereka itu dengan para pengikutnya
sekitar lima ribu orang.
Setelah semuanya berkumpul diputuskan bahwa negeri Tanjung Pamatang
Sawang harus dibuatkan kuta (pagar atau benteng tradisional dari
kayu ulin bulat, batang kelapa, batang pinang, bambu dan jenis palma
lain) nya. Randan dari Mantangai memimpin pencarian kayu ulin di
sungai Mangkutup anak sungai Kapuas. Kayu ulin bulat dengan sengkang
(garis tengah, diameter) satu setenga h jengkal itu diramu, dibawa
milir sampai ke Tanjung Pamatang Sawang dengan Lanting Panjang
Garing Langit (dibuatkan rakitnya) selama tujuh hari tujuh
malam.
Dalam waktu singka t pula yakni selama lima hari lima malam
seluruh negeri Tanjung Pamatang Sawang telah dikelilingi dengan
kuta dari kayu ulin bulat yang dipasang tegak dengan rapat
setinggi enam meter pada areal berukuran panjang seribu meter
dan lebar seribu meter, hingga dinamakan Kuta Bataguh.
Rambang dan Ringkai seperti kebiasaan Suku Dayak dalam
menentukan semua langkahnya meminta petunjuk dengan memanggil
burung elang lewat upacara manajah antang (upacara meminta
petunjuk pada burung elang). Burung elang yang datang adalah
Antang Kabukung Kawus yang berdiam di Tantan Liang Mangan Puruk
Kaminting, hulu sungai Kahayan. Dari arah datangnya dan patinju
(tempat hinggap burung elang yang di tentukan untuk sesuatu
maksud) yang dihinggapinya, elang itu meramalkan bahwa mereka
akan menang. Suara malahap (teriakan pelampiasan perasaan sebagai
tanda setuju untuk secara bersama-sama) bergemuruh ketika
melihat keadaan itu.
Beberapa hari kemudian dari arah muara terlihatlah dua puluh
lima buah pencalang mendekat i Kuta Bataguh. Umbul-umbul dan
bendera kuning bergambar sauh warna merah dikelilingi tiga buah
bintang adalah kenaikan raja Sawang, yang memimpi langsung
penyerangan ini. Pencalang itu berlabuh mengitari pulau Kupang
dimana Kuta Bataguh terletak . Menurut penuturan orang tua-tua
jumlah lasykar raja Sawang ini lebih dari delapan ribu orang
banyaknya.
Beberapa sampan berbendera putih dari pencalang yang
berdayung menuju ke tepian lalu merapat kelanting negeri. Salah
seorang di antara utusan itu lalu berkata ; Raja kami Sawang
yang juga menguasai seluruh pesisir pantai Borneo ini dengan
panglima-panglimanya Latang, Lahuk, Awang dan Litung, datang
kemari untuk menghukum penduduk negeri ini. Kesalahan itu karena
membunuh adiknya Nawang serta pembantunyan Daeng Dong dan Dayoh
Bolang serta seluruh pengiringnya awak tiga pencalang tiga bulan
yang lalu”.
Sebagai tetua, Rambang dengan ramah karena masih menghendaki
penyelesaian secara damai berkata: “ Apakah raja Sawang dan para
panglima tidak dapat datang kemari agar kami dapat menjelaskan
duduk perkaranya ? Dengan segala kebesaran dan ketulusan hati
kami sebagai lelaki sejati menjamin keselamatan paduka raja,
walaupun nanti mungkin kesepakatan penyelesaian masalah tidak
diperoleh”.
Kami hanya menyampaikan titah paduka raja. Tidak ada tawar-
menawar dengan kalian penduduk negeri ini selain menyerah tanpa
syarat “. Lalu para utusan itu kembali ke pencalang rajanya.
Rambang dan beberap a panglima lainnya kembali masuk dan
menutup lawang (pintu) kuta dengan rapat.
Beberapa saat kemudia n pencalang-pencalang lalu merapat ke tep i
sungai. Orang-orang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai
tembaga berlompatan turun sambil berteriak-teriak gemuruh
mengelilingi kuta. Setelah cukup dekat pasukan raja Sawang itu
dihujani para pahlawan yang mempertahankan Kuta Bataguh dengan
damek (anak sumpitan) beracun, tombak dan bambu runcing.
Bagaikan semut mereka menaiki kuta dengan tali berjangkar.
Ketika kepalanya muncul langsung disambut oleh tebasan mandau
(senjata tradisional suku Dayak, sejenis parang). Demikian keadaan
nya berulang-ulang hampir di sepanjang dinding kuta.
Beratus-ratus orang memikul sepotong kayu bulat sebesar drum
lalu, menumbukkannya berulang-ulang ke lawang kuta.
Berdentung-dentung suaranya menimpa lawang kayu ulin setebal dua
jengkal itu.
Ketika itulah mereka dihujani damek beracun pula. Bagai lalang
ditebas mereka jatuh bergelimpangan, namun kemudian diganti lagi
dengan ratusan orang lainnya yang dilindungi dengan perisai
tembaga. Untuk menghadapi ini Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai,
Sangalang, Nyaring dan para panglima lainnya menghujani mereka
dengan lemparan batu-batu sebesar kepala disusul dengan damek
beracun. Walaupun sudah ribuan jiwa melayang , namun belum juga
merek a itu berhenti menyerang. Senja mendatang, merekapun lalu
mundur kembali ke pencalangnya.
Pada saat itulah tiba-tiba Tambun dan Bungai keluar lawang
kuta dan menyergap mereka yang mundur itu. Terjepi t di antara
pasukan Kuta Bataguh yang nyaris segar dengan Sungai Kapuas,
ditambah lagi Tambun, Bungai dan semua mereka itu sudah sawuh,
maka keadaan itu bagaikan air dari bendungan yang bobol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar