Oleh : ABDUL FATAH NAHAN
Entah kapan berdirinya negeri Tanjung Pematang Sawang yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan Kuta Bataguh, Kuta yang diperkuat, sebab
mempunyai pagaratau benteng tradisionaldari kayu ulin bulat, tidak
diketahui dengan pasti.
Sewktu dalam kepemimpinan Nyai Nunyang, Istri pertama Tamanggung (pemimpin sebuah negeri, Betang atuau kelompok etnis)
Sempung dari Tumbang Pajangei, yang mempunyai anak perempuan yang terkenal kecantikannya bernama Nyai Undang sampai ke seberang lautan, hingga banyak berdatangan lamaran namaun semuanya ditulak.
Suatu ketika mampirlah dinegeri Tanjung Pematang sawang tiga buah
Pecalang (perahu layar kecil bertiang satu). Karena memperkenalkan diri
sebagai orang Bangsawan, mereka disambut dengan ramah oleh penduduk
Tanjung Pematang Sawang secara adat. Pesta yang diiringi dengan
minum-minum tuak dan Manasai (menari untuk menghormati tamu)
mengelilingi sangakai Lunuk ( Sangkaraya yang terbuat dari Beringin)
dilakukan, ditingkah pukulan gandang (gendang) dan Garantung (gong).
Nawang, orang berbangsa pemimpin tiga pecalang itu adalah adik
seorang Raja dari negeri Solok, di kepulauan Mindanao (sekarang
Filippina bagian selatan). Ia ditemani dua orang pengawalnya yang perkasa
Daeng Dong dan Dayoh Boloang. Dalam kesempatan pertemuan itu Nawang
sempat melihat Nyai Undang, dan hatinya pun langsung terpaut. Walaupun
telah pula didengarnya bisik-bisik tentang semua lamaran yang banyak
ditolak karena Nyai Undang telah mempunyai tunangan, Nawang tak
perduli.
Ia menghadap Nyai Nunyang serta menyampaikan maksud
kedatangannya. Walaupun Nyai Nunyang telah memberitahukan bahwa
Nyai Undang sudah mempunyai tunangan dari sanak keluarga sendiri,
ia tetap mendesak. Akhirnya Nyai Undang berkata :”Pulanglah dulu anak
muda. Saya akan memberitahukan waktunya padamu, agar dapat berhadapan
langsung dengan anakku Nyai Undang. Biarlah kau dengar sendiri apa
jawabnya nanti kepadamu”.
Beberapa hari kemudian, Nawang diundang menghadap ke betang (rumah
panjang tradisional Suku Dayak, dihuni ratusan orang yang
mempunyai hubungan kekeluargaan atau sedarah). Nawang datang
bersama kedua pembantu setianya Daeng Dong dan Dayoh Bolang.
Setelah sama minum seteguk tuak dari tanduk kerbau berukir
terbungkus anyaman manik-manik, Nyai Undang menanyakan maksud
kedatangan Nawang. Sambil mengangsurkan sebuah nampan kencana bertutupkan kain tenun yang halus bagaikan sutera, Nawang membukanya dan terlihatlah seperangkat bahan pakaian bersulam dan perhiasan yang bertatah kan permata serta mutiara.
Setelah itu Nawang berkata “ Oh Nyai, terimalah ini sebagai
pertanda hasyrat dan ketulusan hatiku yang ingin memintamu sebagai
pendampingku sampai di akhir hayat”.
Nyai Undang dengan tenang mendorong kembali nampan itu seraya
berkata : “Horma t kami pada kakak sangatlah tinggi. Sayang
permintaan ini sudah terlambat, kami tak dapat melanggar janji
pada sanak keluarga yang sudah mengikat kami. Jika berkenan
anggaplah kami sebagai adik sendiri “.
Menghadapi hal yang sulit dipecahkan terutama dalam pertentangan
kehendak, pengakuan saling angkat saudara sebenarnya dapat
menengahi permasalahan. Tapi mabuk kepayang yang sudah menimpa
Nawang telah menutup hati nuraninya yang kini penuh terbungkus
nafsu.
“ Nyai, aku sudah menaruh tekad pantang untuk berbalik pulang sebelun niatku tercapai”, kata Nawang lagi menegaskan.
Nyai Undang berdiri berbalik badan dan melangkah masuk ke ruang
dalam tanpa berkata-kata lagi. Nawang yang sudah gelap mata karena
cinhtanya, tanpa mengindahkan orang banyak yang hadir di ruangan
itu, serta adat yang berlaku lalu berdiri menyusul Nyai Undang
masuk dan meraih tangan Nyai itu yang berada di balik tirai.
Nyai Undang merasa lelaki ini sudah keterlaluan dan hal ini
sudah membuat malu dirinya. Dengan cepat ia menghunus duhung
(senjata tradisional pemimpin Suku Dayak, matanya berbentuk tombak),
Raca Hulang Jela terbuat dari sanaman matikei (besi sejati, mudah
bengkok tetapi tajam) yang tergantung di dinding lalu dengan
cepatnya menikam Nawang yang tak menyangka akan serangan
mendadak tersebut.
Melihat Nawang yang roboh bermandikan darah, Daeng Dong dan
Dayoh Bolang serta seluruh awak pencalang lalu mengamuk menuntut
bela. Namun Nyai Undang yang sudah sawuh (mata gelap) serta warga
Tanjung Pamatang Sawang yang jumlahnya lebih bayak, lalu dengan
lugas pula. Semuanya dibantai tanpa tersisa seorang pun lagi yang
hidup.
Kabar kematian Nawang bagaikan dibawa angin sampai ke seberang
lautan. Kakaknya raja Sawang berniat untuk membalas, tanpa perduli
adiknya telah bertindak salah, Baginya hutang darah harus dibayar
dengan darah. Iapun lalu mempersiapkan pasukannya. Peristiwa itu
membuat Nyai Nunyang Jatuh sakit hingg a membawa kematiannya,
Terpaksalah Nyai Undang mewarisi kuasa untu k memimpin negeri
Tanjung Pamatang Sawang mengantikan ibunya.
Menyadari akibat perbuatannya yang pasti berbuntut panjanhg,
Nyai Undang mengirimkan totok bakaka (benda sebagai bahasa
isyarat) ke segenap negeri di sepanjang Sungai Kapuas Murung,
Sungai Kapuas, Sungai Kahayan dan sampa i ke Sungai Katingan berupa
lunju bunu (tombak pembunuh) yakni tombak yang matanya diberi
kapur, yang berarti mohon bantuan segera karena seluruh suku
akan berada dalam bahaya. Para pemimpin Suku Dayak berdatangan
membantu Nyai Undang, terutama tentunya Sangalang Tumbang Habaon,
tunangan Nyai Undang sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar