Selasa, 24 April 2012

Kuta Bataguh I

Oleh : ABDUL FATAH NAHAN


Image 
Entah kapan berdirinya negeri Tanjung  Pematang  Sawang yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kuta Bataguh, Kuta yang diperkuat, sebab mempunyai pagaratau benteng tradisionaldari kayu ulin bulat, tidak diketahui dengan pasti.

Sewktu dalam  kepemimpinan Nyai Nunyang, Istri pertama Tamanggung (pemimpin sebuah negeri, Betang atuau kelompok etnis)

Sempung dari Tumbang Pajangei, yang mempunyai anak perempuan yang terkenal kecantikannya bernama Nyai Undang sampai ke seberang lautan, hingga banyak berdatangan  lamaran namaun semuanya ditulak.
Suatu ketika mampirlah dinegeri Tanjung Pematang sawang  tiga buah Pecalang (perahu layar kecil bertiang satu). Karena memperkenalkan diri sebagai orang Bangsawan, mereka disambut dengan ramah oleh penduduk Tanjung Pematang Sawang secara adat. Pesta yang diiringi dengan minum-minum tuak dan Manasai (menari untuk menghormati tamu) mengelilingi sangakai Lunuk ( Sangkaraya yang terbuat dari Beringin) dilakukan, ditingkah pukulan gandang (gendang) dan Garantung (gong).

Nawang, orang berbangsa pemimpin tiga pecalang itu adalah adik seorang Raja dari negeri Solok, di kepulauan Mindanao (sekarang Filippina  bagian selatan). Ia ditemani dua orang pengawalnya yang perkasa Daeng Dong dan Dayoh Boloang. Dalam kesempatan pertemuan itu Nawang sempat melihat Nyai Undang, dan hatinya pun langsung terpaut. Walaupun telah pula didengarnya bisik-bisik tentang  semua lamaran  yang  banyak ditolak  karena Nyai Undang  telah mempunyai tunangan, Nawang tak perduli.

Ia menghadap  Nyai Nunyang  serta  menyampaikan  maksud  kedatangannya. Walaupun Nyai  Nunyang  telah  memberitahukan  bahwa  Nyai  Undang  sudah  mempunyai  tunangan dari sanak  keluarga sendiri,  ia tetap mendesak. Akhirnya Nyai Undang berkata :”Pulanglah dulu anak muda. Saya akan  memberitahukan waktunya  padamu,  agar dapat berhadapan  langsung  dengan  anakku Nyai  Undang. Biarlah kau dengar  sendiri apa jawabnya  nanti  kepadamu”.

Beberapa hari  kemudian, Nawang diundang  menghadap ke betang  (rumah  panjang tradisional  Suku  Dayak, dihuni  ratusan orang  yang  mempunyai  hubungan  kekeluargaan atau sedarah).  Nawang  datang  bersama  kedua pembantu  setianya Daeng  Dong  dan Dayoh  Bolang.

Setelah  sama  minum seteguk tuak dari tanduk  kerbau  berukir  terbungkus  anyaman  manik-manik, Nyai Undang  menanyakan  maksud  kedatangan  Nawang.  Sambil mengangsurkan sebuah  nampan kencana bertutupkan  kain tenun yang  halus bagaikan sutera,  Nawang  membukanya dan  terlihatlah  seperangkat bahan  pakaian bersulam  dan perhiasan  yang  bertatah kan  permata  serta mutiara.

Setelah  itu  Nawang  berkata “ Oh  Nyai, terimalah  ini sebagai  pertanda  hasyrat dan ketulusan  hatiku  yang  ingin  memintamu sebagai  pendampingku sampai di akhir  hayat”.

Nyai  Undang  dengan tenang  mendorong  kembali  nampan  itu seraya berkata : “Horma t kami  pada kakak  sangatlah  tinggi. Sayang  permintaan  ini sudah  terlambat, kami tak dapat  melanggar  janji  pada sanak  keluarga yang  sudah  mengikat  kami. Jika berkenan anggaplah  kami  sebagai  adik sendiri “.

Menghadapi  hal  yang  sulit dipecahkan  terutama dalam  pertentangan  kehendak, pengakuan  saling angkat saudara  sebenarnya dapat  menengahi  permasalahan. Tapi  mabuk kepayang  yang  sudah  menimpa Nawang  telah  menutup hati  nuraninya  yang  kini  penuh terbungkus  nafsu.

“ Nyai, aku  sudah  menaruh  tekad  pantang  untuk  berbalik  pulang  sebelun  niatku tercapai”, kata  Nawang  lagi  menegaskan.

Nyai  Undang  berdiri berbalik badan dan  melangkah  masuk ke ruang  dalam tanpa berkata-kata lagi. Nawang  yang  sudah  gelap mata  karena cinhtanya,  tanpa  mengindahkan orang  banyak  yang  hadir  di ruangan  itu, serta  adat  yang  berlaku  lalu  berdiri  menyusul Nyai  Undang  masuk dan  meraih  tangan Nyai  itu  yang  berada di balik tirai.

Nyai  Undang  merasa  lelaki  ini sudah  keterlaluan  dan  hal ini  sudah  membuat malu dirinya. Dengan cepat ia menghunus  duhung  (senjata tradisional  pemimpin Suku Dayak, matanya  berbentuk  tombak), Raca Hulang  Jela  terbuat dari  sanaman  matikei  (besi sejati, mudah  bengkok tetapi  tajam)  yang tergantung  di  dinding  lalu dengan  cepatnya  menikam Nawang  yang  tak  menyangka  akan  serangan mendadak tersebut.

Melihat  Nawang  yang  roboh  bermandikan  darah,  Daeng  Dong  dan Dayoh Bolang serta seluruh awak pencalang  lalu  mengamuk  menuntut bela.  Namun  Nyai  Undang  yang sudah  sawuh (mata gelap)  serta warga Tanjung  Pamatang  Sawang  yang  jumlahnya  lebih bayak,  lalu dengan  lugas  pula. Semuanya dibantai  tanpa  tersisa seorang pun  lagi  yang  hidup.

Kabar  kematian  Nawang  bagaikan  dibawa angin  sampai  ke seberang  lautan. Kakaknya  raja  Sawang berniat untuk membalas, tanpa  perduli  adiknya  telah  bertindak salah, Baginya  hutang  darah  harus dibayar dengan  darah.  Iapun  lalu  mempersiapkan pasukannya. Peristiwa itu membuat  Nyai  Nunyang Jatuh  sakit  hingg a membawa kematiannya, Terpaksalah  Nyai  Undang  mewarisi kuasa untu k memimpin negeri Tanjung Pamatang  Sawang  mengantikan  ibunya.

Menyadari  akibat  perbuatannya  yang  pasti  berbuntut  panjanhg,  Nyai  Undang mengirimkan  totok bakaka (benda  sebagai  bahasa  isyarat)  ke segenap negeri di sepanjang Sungai  Kapuas  Murung,  Sungai Kapuas, Sungai  Kahayan dan sampa i ke Sungai  Katingan berupa  lunju  bunu  (tombak  pembunuh)  yakni tombak   yang  matanya diberi  kapur,  yang berarti  mohon  bantuan  segera  karena  seluruh  suku  akan berada  dalam   bahaya.  Para pemimpin  Suku  Dayak  berdatangan  membantu  Nyai  Undang,  terutama tentunya Sangalang Tumbang  Habaon,  tunangan  Nyai  Undang  sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar