Apa saja keunikan temuan bangkai kapal karam di desa Pangkalan Sari,
kecamatan Basarang? Berdasarkan kesimpulan dari 4 (empat) orang peneliti
dari Balai Arkeologi Banjarmasin, yang terdiri dari Hartatik, SS
(Peneliti Madya, Ketua Tim), Vida Pervaya Rusianti Kusmantoro, MA
(Peneliti Madya), Ulce Oktrivia, SS (Peneliti Situs dan Prasasti) dan
Rahmat Taufik bahwa bangkai kapal karam yang ditemukan di perairan
sungai di desa Pangkalan Sari dinyatakan termasuk katagori benda cagar
budaya yang khas sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2010.
Adapun keunikan artefak-artefak yang telah diobservasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Fragmen porselen yang ditemukan merupakan bagian dari 3 (tiga) buah piring. Dua piring memiliki cap berbentuk mahkota kerajaan dan simpul Stafford (Stafford knot). Di dalam simpul stafford terdapat inisial PK, frase prize medal dan angka tahun 1851. Terdapat pula patahan kata”…..TAGNE” dan angka 8 diluar simpul. Karakteristik yang terdapat pada piring porselen tersebut menunjukkan ciri produksi barang-barang dari Inggris. Namun kata “…TAGNE” dibawah simpul Stafford merupakan kepanjangan dari frase “GRANDE BRETAGNE” yang dalam bahasa Inggris berarti Great Britain, merupakan sebutan resmi orang Perancis pada masa itu bagi England. Inisial PK adalah kependekan dari Porquier Kemper (Quimper), yaitu nama pabrik yang memproduksinya, yang berdiri sejak 1707 sampai pertengahan abad ke-20 Masehi. Sedangkan frase prize medal dan angka 8 mengindikasikan bahwa piring tersebut merupakan semacang trofi yang kedelapan yang diperuntukan bagi para pemenang kompetisi tertentu. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa piring-piring tersebut diproduksi oleh Perancis atas pesanan Inggris dalam jumlah tertentu, untuk kemudian sengaja dibawa ke kawasan perairan Kapuas untuk keperluan yang berkaitan dengan suatu kegiatan kejuaraan. Oleh karena kuantitasnya terbatas dan bersifat unik yang menunjukkan hubungan diplomatis dua negara besar (Inggris dan Perancis) pada pertengahan abad ke-19 Masehi maka piring-piring tersebut adalah benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah, teknologi dan kebudayaan yang sangat tinggi.
2.
Menurut Lukas Parta Koestoro, DEA (Peneliti Arkeologi Maritime), lubang
udara (vent pipe) berbahan kuningan setinggi ± 20 cm, yang demikian itu
biasanya terdapat pada sebuah kapal yang berukuran besar, baik berbadan
kayu maupun besi. Pada umumnya vent pipe yang digunakan untuk membantu
sirkulasi udara dalam ruang atau kabin kapal berdiameter lebih dari 20
cm. Kerap vent pipe semacam ini dipasang di bagian atap, depan atau
belakang kapal, yang bermula dengan adanya kapal uap. Namun mengacu pada
besaran diameter temuan tersebut, lebih tepat jika fungsi vent pipe ini
adalah bagian dari sarana penyampai atau penerima pesan (corong suara)
dari ruang kemudi (yang sekaligus kabin kapten) ke kamar mesin. Alat ini
digunakan untuk memperlancar komunikasi lisan antara pihak yang
mengendalikan kemudi di kabin/ruang atas, baik nakhoda maupun
mualim/jurumudi dengan fihak kamar mesin (kepala kamar mesin, juru mesin
dan lainnya). Mekanismenya, pembicara mendakatkan mulutnya ke corong
penyampai dan mengirimkan pesan yang mengalir melalui pipa ke ujung pipa
lain yang merupakan corong penerima. Ini berkaitan antara lain dengan
perintah atau permintaan nakhoda untuk menambah atau mengurangi
kecepatan/akselerasi mesin.
3. Dulu vent pipe diproduksi oleh pabrik-pabrik di Eropa, jadi memang
bagian dari kapal-kapal yang diproduksi di Eropa. Namun sejak
pertengahan awal abad ke-20 Masehi, seperti halnya kapal-kapalnya,
komponen-komponen kapal mulai diproduksi oleh pabrik di Surabaya.
Produksi vent pipe kuningan tidak harus oleh industri besar. Pengrajin
rakyat dimanfaatkan pula untuk memproduksi vent pipe tersebut karena
aktivitas peleburan kuningan atau tembaga tidak memerlukan panas yang
tinggi seperti halnya peleburan besi. Dengan demikian obyek yang
ditemukan di perariran Kapuas tersebut adalah bagian corong penyampai
atau bagian corong penerima pesan sebuah kapal besar. Artinya produk
tersebut sudah dikenal di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai dengan
awal abad ke-20 Masehi termasuk di Kalimantan. Di Kalimantan penggunaan
kapal uap berukuran besar menunjukkan intensitas yang tinggi bahkan
mencapai bagian hulu sungai-sungai besar, antara lain untuk ekspedisi
militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar