Legenda Kabupaten Kapuas
Tersebutlah
kisah yang terjadi pada tahun 1933. Menurut tutur yang berkembang di Bantanjung
dan Lupak, dalam tahun tersebut terjadi prahara yang sangat besar dan sangat
menghebohkan. Apa prahara dahsyat itu? Masyarakat di kedua desa diamuk buaya
yang sangat ganas dan memangsa ribuan penduduk. Kampung Batanjung dan Lupak
geger. Kebanyakan penduduk merasa tidak
aman meneruskan kehidupan di sekitar perairan. Malah sebagian dari mereka pergi
meninggalkan kampung dan merantau ke daerah lain.
Sebagai
mana diketahui, Bantanjung dan Lupak adalah dua desa di muara sungai Kapuas
Murung. Kedua desa ini merupakan desa pesisir yang sangat dekat dengan laut
Jawa. Karena posisi geografis sedemikian
maka kehidupan sehari-hari adalah kehidupan pesisir dan tepian pantai. Lantas
kenapa amukan buaya bisa terjadi dan sangat penggemparkan? Kenapa hal itu
terjadi dan apa akhir dari peristiwa besar tersebut?
Budaya
tutur yang melegenda di masyarakat menyebutkan bahwa dalam tahun 1933 desa
Batanjung dan Lupak didatangi seorang perantau miskin bernama Datu Jalal. Datu
Jalal dikabarkan berasal dari Kelua, sekarang Kabupaten Tabalong, Provinsi
Kalimantan Selatan.
Apa
yang dikerjakan Datu Jalal dalam perantauannya ke Kapuas Murung? Ternyata
beliau hanya hilir mudik menghabiskan waktu. Dia tidak merantau untuk bekerja.
Dia tidak merantau untuk membina keluarga. Malah dia lebih tepat dikatakan pengemis.
Dia juga orang yang dipandang kurang waras. Karena apa? Karena di daerah ini
dia tidak punya tempat tinggal, berpakaian compang-camping, bersorban kuning
dan hanya mengambil makanan dari apa saja yang bisa didapatkannya dengan mudah .
Keseharian
Datu Jalal yang kian dipandang aneh dimata awam maka dia tidaklah dapat
dianggap normal. Dan karena keganjilan demi keganjilan kerap terjadi maka dia
pun dinilai mengganggu ketenteraman masyarakat. Sampai akhirnya sebuah
peristiwa terjadi terhadap dirinya. Apa itu? Datu Jalal mengambil makanan orang
dan pencurian itu dianggap aib. Akibat kejadian itu Datu Jalal dipukuli oleh
masyarakat. Dia dihajar karena mencuri. Dia dihukum oleh masyarakat.
Akibat
dipukuli maka Datu Jalal berusaha meloloskan diri. Dia lari menuju tepi pantai.
Dia melompat ke dalam perahunya yang buruk. Dia bertolak ke tengah sungai. Dia
mengayuh sambil terus mengomel. Dia terus mengayuh melintasi kampung Batanjung
– Lupak mondar-mandir. Dia mengamuk di tengah arus yang menghanyutkan. Dibukanya surban kuning yang melilit
kepalanya. Dibukanya kain panjang itu di tengah sungai. Dia berdiri di atas
jukung dan memutar-mutar surbannya yang kuning lusuh. Apa yang terjadi?
Ternyata datanglah angin ribut menghempas pantai Pulau Gabang, pantai Kampung
Batanjung sampai Lupak.
Tidak
lama berselang cuaca buruk melingkupi alam. Awan gelap berdatangan menghantarkan halilintar yang menakutkan.
Alam pun kontan tidak bersahabat menghantui kampung Batanjung dan Lupak. Namun
tidak lama peristiwa seram itu terjadi, tiba-tiba suasana ganas berubah
tenteram seperti sedia kala. Sungguh aneh, keadaan kacau yang mendadak datang
tiba-tiba saja hilang dalam sekejap. Tenteram.
Ringkas
kisah, amuk Datu Jalal di tengah sungai sudah lama berlalu. Orang pun tidak
tahu dimana keberadaannya. Dimana perantau Kelua itu berada? Dimana Datu Jalal
sekarang? Tidak satu pun yang tahu dimana dia. Yang pasti..., tidak ada lagi
sosok pengemis aneh bersorban kuning disini. Namun apakah ketiadaannya membuat
kampung menjadi aman sentosa laksana sedia kala? Ternyata tidak. Lepas dari
peristiwa Datu Jalal malah menciptakan bencana baru di Lupak dan Batanjung. Apa
bencana baru itu? Ternyata satu demi satu penduduk di mangsa buaya setiap
harinya. Ada saja orang tewas dan hilang disambar buaya. Sampai akhirnya...,
tidak aman penduduk Batanjung dan Lupak karena setiap hari penduduknya dimangsa
buaya.
Lantaran
desa Batanjung dan Lupak senantiasa heboh amukan buaya maka sebagian penduduk
pergi meninggalkan kampung. Cukup banyak yang mengungsi kemana-mana. Sampai
akhirnya..., bala besar ini terdengar juga oleh seorang hebat dari Kelua yang
bernama Datu Jafar. Apa yang terjadi selanjutnya? Datu Jafar mendeteksi adanya
amukan 3 (tiga) buaya siluman yaitu buaya kuning berbuntut dua, buaya hitam dan
buaya putih.
Mendengar
perkataan Datu Jafar maka penduduk pun bersepakat meminta pertolongan kepadanya
dan bersedia menuruti petunjuknya. Akhirnya beliau pun bertempur secara gaib
dengan ketiga buaya penggangu. Terjadilah perkelahian yang hebat. Sampai
akhirnya buaya kuning berbuntut dua berhasil dibunuh di Lupak. Buaya putih
berhasil dilumpuhkan juga walau sempat berubah menjadi ular sawa. Dan akhirnya
buaya hitam yang berperawakan pendek gempal dan paling hebat juga terbunuh
dalam tarung kedidjayaan itu. Dengan demikian Datu Jafar berhasil mengamankan
penghidupan masyarakat Batanjung - Lupak dan sekitarnya.
Karena
suasana sudah kondusif dan kemananan sudah kembali maka untuk menjaga kedamaian,
Datu Jafar berpesan kepada warga agar bersedia mengadakan upacara tahunan sebab
beliau meninggalkan 3 (tiga) ekor buaya penjaga. Pesan beliau agar ketiga buaya
penjaga yang beliau lepaskan dikasih makan setiap tahun. Upacara ritual memberi
makan itu harus yang disajikan hewan
persembahan, ayam hitam dan makanan 40 macam.
Karena
masyarakat masih merasa berhutang budi kepada Datu Jafar maka upacara tahunan
memberi makan buaya terus dilaksanakan masyarakat Lupak dan Batanjung sampai
sekarang.
Kuala
Kapuas, 29 November 2011
Ditulis
oleh: Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos
Narasumber
: Ilham (Kepala Desa Batanjung) dan Aliansyah (Perangkat Desa Batanjung)